STIKER ISLAMI

Kami kerjakan untuk mendukung Dakwah dan Jihad!!!!

Selasa, 17 November 2009

Mengukur Kejujuran


Kearifan seseorang nampak pada sikapnya terhadap hal-hal yang menyenangkan. Adakah ia mensyukuri atau tidak. Apakah kegembiraan yang didapat menumbuhkan sikap tawadhu' dan khusyu'?
Maka aku segera tersadar oleh sebuah persoalan umat yang menyangkut pribadi. Jabatan itu amanah. Jabatan itu amanah. Jabatan itu amanah. Sesungguhnya hatiku merasakan berat terhadap amanah yang saat ini aku emban.

Yaa Rabb . . .
Keluhku di hadapan-Mu . . .
Ampuni salah dosaku . . .
Halalkanlah apa-apa yang telah aku makan . . .
Yang teelah ku nafkahkan untuk keluarga . . .
Jika terselip di sana apa-apa yang Engkau haramkan . . .
Yaa Rabb . . .
Kabulkanlah do'a permohonan hamba . . .

Senin, 24 Agustus 2009

Ramadhan Luar Biasa

Bismillahirrahmanirrahiem

4 Ramadhan 1430 Hijriah.

Gagasan muncul begitu mendesak. Buat buku dong! Idenya sudah menumpuk, tinggal diseriusi insya Allah bisa. Sebagai contoh, kemarin 2 Ramadhan saya baca buku dengan judul 30 Materi Kultum Ramadhan. Luar biasa. Mungkin bukan sesuatu yang baru-baru amat. Tapi namanya gagasan buah pena dapat diwujudkan dalam bentuk buku ini yang jadi luar biasa.

Langsung saja. Coba kita bisa tulis berbagai tema. Banyak. Super banyak. Apalagi sebagai generasi muslim yang meneladani para pendahulu kita. Luar biasa. Ulama di jaman dulu dengan segala keterbatasan fasilitasnya, mampu menulis kitab yang berjilid-jilid. Nah, kita yang hari ini semakin dimanjakan dengan teknologi lha koq malah adem ayem ngglenggem. Let's do !!! Contoh judul yang perlu kita tulis:

1. 29 HADITS MOTIVASI BUAT BUNDA

2. 29 HADITS MOTIVASI BUAT AYAH

3. 29 HADITS MOTIVASI BUAT MUJAHID

4. 29 HADITS MOTIVASI BUAT MUSLIMAH

5. 11 HADITS FOR KIDS

6. 29 HADITS FOR TEENAGER

7. 29 HADITS MOTIVASI BUAT OLAHRAGAWAN

8. THE BEST ABI WA UMMI

9. 99 CELAH MASUKNYA SYETAN

Dan masih banyak lagi yang bisa kita tulis. Nah, sekarang tinggal kita mau apa tidak?

Sabtu, 22 Agustus 2009

Ku Tulis dan Ku Baca

BERHENTI JADI PEGAWAI
Orang ramai membicarakan kesempatan melamar jadi pegawai.Apakah pegawai negeri atau swasta. Semua ramai membicarakannya.Padahal saya justru ingin berhenti jadi pegawai. Ingin berkarya mandiri.Ingin memberikan manfaat lebih luas.

PENDIDIKAN KITA HANCUR
Posisi orang tua telah digantikan televisi. Anak-anak belajar kepada TV.Anak-anak peduli kepada TV. Rajin mengikuti acara-acaranya.Meniru gaya yang ditontonnya. Kedudukan orang tua di rumah juga diganti pihak ketiga.Orang di jalan yang ditemui bisa menjadi ayah atau ibu. Lalu di mana orang tua?


IDE ITU MAHAL
Ide itu mahal. Tapi lebih mahal lagi jika ide itu bisa diwujudkan.Ide tanpa realisasi belum banyak memberi manfaat. Maka, tekunlah pasti menghasilkan.

JANGAN DIBUANG!
Urine atau air kencing hewan ternak sangat bermanfaat. Apalagi mendapat perlakuan.Bisa-bisa jadi jutawan karena urine sapi. Teknologi enzim telah membuktikan.Urine sapi sangat berguna bagi lahan pertanian atau pertambakan. Jadi, benda kotor jangan dipandang sebelah mata. Terbukti banyak manfaatnya.

BUAT PERENCANAAN
Apa yang mau dikerjakan sebaiknya direncanakan. Perencanaan yang baik.Tulis poin yang akan dikerjakan. Pilih yang mendesak, penting, dan seterusnya.Ada skala prioritas. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Jika selesai, evaluasi atas perencanaan yang telah dikerjakan. Dan bersiap melakukan perencanaan dan tugas berikutnya.

MENGAPA OH MENGAPA
Mengapa kita harus berkata. Jika hanya menumpuk dosa. Lebih baik diam saja.Mengapa kita harus duduk. Jika berdiri semakin buruk. Lebih baik menunduk.Mengapa kita harus puasa. Jika makan tak tahu halalnya. Lebih baik ditahan saja.

KITA INI SIAPA
Kita ini siapa? Apakah kita manusia? Apakah benar kita manusia?Kita ini siapa? Apakah kita muslim? Apakah benar kita muslim?Kalau muslim, mengapa kita rajin mengumbar nafsu?Kalau muslim, mengapa uang tak jua kita nafkahkan di jalan Allah?Kalau muslim, mengapa uang selalu menjajah kita?Kalau muslim, mengapa harta seolah segala-galanya?Kalau muslim, mengapa shalat subuh seperti shalat dhuha?Kalau muslim, mengapa kita sering berpangku tangan saja?

SELAMAT
Kata yang selalu dicari. Siapapun dia. Jahat atau baik semua ingin selamat.Tua muda juga ingin selamat. Kaya miskin semua ingin selamat. Maling ingin selamat.Koruptor juga ingin selamat. Penjarah kayu ingin selamat.Tapi ada juga yang diselamati. Jadi presiden diselamati.Menang pilkada bikin selamatan. Menang di pengadilan juga diselamati.Yang baik dan yang buruk ingin selamat. Sayang, di pengadilan Allah nanti siapa yang selamat?Dan kita berharap, kita ini yang selamat. Selamat dunia akhirat. Amien.

ADU DOMBA
Seorang membuat kebohongan atas diri orang lain.Di hadapan orang lain, ia berbuat serupa.Terjadilah perselisihan antara dua orang yang dibohongi.Inilah kejadian adu domba. Seseorang mengadukan seorang lainnya dengan dusta.

ANAK SHALIH
Doakan kedua orang tuanya.Rajin mengaji.Rajin ibadah.Rajin ke masjid.Patuh kepada orang tua.Taat kepada syariat Allah.Itulah anak shalih.Maukah kita jadi anak shalih?Maukah kita punya keturunan shalih

BERTAUBATLAH SELAGI SADAR, DON'T BE LATE
Berbuat salah itu wajar. Berulang kali juga mungkin.Sebab dengan berulang-ulang, bisa menjadi pembenaran.Ah, Tuhan maha pemaaf. Mengapa mesti risau dengan dosa.Toh, kelak yang di jiwanya ada iman pasti dimaafkan.Kalau tidak dimaafkan, lalu apa maksud hadits tentangorang yang punya iman seberat biji sawi akan dikeluarkan dari neraka, dan dipindah ke surga?Jangan memaknai hadits dengan sempit.Pandanglah itu sebagai kemurahan Allah swt.Allah Maha Pemaaf itu benar. Tapi orang-orang yangmempermainkan agama Allah juga diancam keras!Karena itu pertaubatan bukan sekadar berhenti dariberbuat maksiat. Taubat merupakan konsekuensi orang yang berbuat maksiat. Dan setelah melakukan taubatharus meninggalkan 100% kemaksiatan itu kapan dan dimanapun.Taubat adalah kegagahan seseorang dalam mengakui kesalahan.Dan taubat adalah pengakuan betapa kecilnya hamba.Tiada kuasa hamba atas diri hamba sendiri.Yaa Rabb terimalah taubatku . . .

Rabu, 12 Agustus 2009

TABI'I

The Tābi‘ūn (Arabic: التابعون‎ "Followers") are the generation of Muslims who were born after the death of Muhammad but who were contemporary of the Sahaba "Companions". As such they played an important part in the development of Islamic thought and philosophy, and in the political development of the early Caliphate. In particular, they played a vital role in the split in the Islamic community between Sunni and Shia Muslims. To this day, interpretations of their behaviour and characters are highly controversial.

MUKHARRIJ

BAB I
PENDAHULUAN

Hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits sampai kepada kita dimulai dari sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi seterusnya.
Dijaman Rasul hadits tidak dibukukan karena takut akan tercampur baur dengan Al-Qur’an. Akan tetapi mengingat perkembangan jaman, dan ditakutkan akan muncul hadits-hadits palsu ditambah lagi dengan sudah mulai berkurangnya para muhaddits, maka para ulama terdahulu telah menyusun kitab hadits yang mereka susun dengan berbagai syarat untuk meloloskan hadits tersebut dikitab karangan mereka.
Diantara mereka yang terkenal adalah Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Bukhari, Muslim, Baihaqi, dan sebagainya.
Disini kami selaku pemakalah akan mencoba membahas mengenai sejarah para Mukharrij yang telah ditugaskan kepada kami.

BAB II SEJARAH MUKHARRIJ TERKENAL

A. Imam Malik
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.”
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
B. Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
a. Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
b. Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
c. Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
C. Abu Al-Hasan Muslim
Beliau biasanya disebut Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
a. Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

b. Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
c. Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
d. Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
BAB III KESIMPULAN

ÿ Para Imam Hadits adalah orang yang tekun dalam menuntut ilmu, hal ini dibuktikan dengan giatnya mereka mencari hadits dari segala pelosok
ÿ Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam.
ÿ Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik.
ÿ Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
ÿ Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan.
ÿ Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
ÿ Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
ÿ Karya Imam Bukhari antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
ÿ Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan,
ÿ Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi.
ÿ Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
ÿ Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
ÿ Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H.
Daftar Referensi

http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/abad-04/an-nasai-215-303-h.html
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/abad-03/imam-abu-daud-202-275-h.html
http://yuari.wordpress.com/2008/01/10/imam-ibnu-majah-perawi-hadis-dan-ahli-sejarah/
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=172

Selasa, 11 Agustus 2009

TUGAS RAMADHAN SANTRI

Tugas Ramadhan Pesantren PERSIS Bangil

I. Mata Pelajaran Musthalah Hadits Kelas 2 (Putra dan Putri)

A. Tulislah pengertian istilah-istilah berikut ini:
1. Mukharrij
2. Rowi
3. Sanad / Isnad
4. Tabi'i
5. Shahabat Rasulullah saw
6. Matan Hadits
B. Sebutkan contoh dari istilah-istilah berikut ini:
1. Mukharrij (minimal 7 nama)
2. Tabi'i (minimal 5 nama)
3. Shahabat Rasulullah saw (minimal 20 nama)
4. Matan Hadits (minimal 3 matan)

MAU TAU?

Sanad dan Matan

Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.

Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.

Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.

Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”[1]

Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.

Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"[2]

Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.


PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA

As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti:

"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.[3]

Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.

[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.[4]


[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]



Catatan Kaki:
[1] Muqaddimah Shahih Muslim.
[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).
[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).
[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31).

Senin, 20 Juli 2009

Jangan Remehkan Profesi Orang

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Saat mengajar di kelas 2B Pesantren PERSIS Putri ada hikmah yang perlu saya bagi. Masa perkenalan, orientasi, dan visi ke depan coba kita bangun. Karena memasuki tahun ajaran baru perlu nambah semangat. Nah, bermula dari pertanyaan tentang cita-cita muncul celetukan usil.

Ada yang menggoda temannya dengan menyebut bercita-cita sebagai tukang jamu. Langsung saya katakan, "Ada apa dengan tukang jamu?". Seketika sebagain tertawa. "Bukankah tukang jamu itu mulia? Bayangkan, ia pergi membuat jamu sebelum subuh. Karena pagi-pagi sebelum orang berangkat kerja ia sudah menghampiri para pelanggannya. Bayangkan luar biasa nilai usaha si tukang jamu. Ia berusaha melayani para pelanggan dengan baik. Apakah ini bukan suatu ibadah? Dan ada apa dengan tukang jamu? Ada tukang jamu yang berpenghasilan 1 miliar sebulan. Kita bisa lihat jamu Sido Muncul ada di mana-mana! Produksinya sampai dikirim ke luar negeri. Sama-sama jualan jamu."

Beberapa santri terlihat mengangguk. Berikutnya pindah ke santri lain. Ketika di tanya, ada lagi yang nyeletuk, "Cita-cita tukang sayur!". Dengan senyum saya lebih mendekat ke asal celetukan itu. "Wah, hebat yang mau jadi tukang sayur. Sebuah profesi yang mulia. Berusaha setiap hari, setiap pagi, mengelilingi kampung. Menawarkan sayurannya. Menata dengan rapi. Melayani dengan senyuman. Semua bernilai ibadah. Dan jangan merendahkan profesi tukang sayur. Tukang sayur sukses sudah banyak contohnya. Berhasil mengembangkan sayur organik, lebih sehat, lebih mahal, dan banyak yang suka. Omset penjualannya pun ada yang sampai miliaran rupiah dalam sebulan. Ini dari sayur. Bermula dari tukang sayur. Bukankah ini suatu hal yang luar biasa!"

Dan soal menghina, mengejek, mencela, merendahkan, memperolok, mengeritik, dan mengomentari itu pekerjaan amat mudah. Tidak pakai ilmu pun bisa. Ada orang berambut jeprak, dikatakan, "Rambut kaya sapu", ini mengejek. Sekali lagi, untuk mengejek itu mudah sekali. Tidak berilmu pun bisa mengejek, merendahkan, mencela, dan sejenisnya.

Tapi untuk berkarya. berkreasi, berinovasi, dan berbuat sesuatu tentu membutuhkan ilmu. To create more than difficult than to critize. Lihat pula al-Hujurat: 11.

Selasa, 19 Mei 2009

Kerikil

Batu Kecil
Batu kceil itu dinamakan kerikil. Sering kita lihat kerikil. Sering pula kita tergelincir karena kerikil. Dan dari kerikil ada sebuah hikmah yang besar.

Seorang pekerja bangunan sedang mengontrol kekurangan pasokan logistik di lantai 10. Saat ia hendak mengirimkan kertas catatan ia kebingungan kontak dengan mandor di bawah.
Sebab ia tidak membawa handytalky. Ok. Dia berinisiatif dengan cara melempar koin. Koin dilempar dan jatuh tepat di depan si mandor. Uang itu dipungut begitu saja oleh sang mandor. Lalu ia melempar koin kedua. Lagi-lagi si mandor tidak tanggap dengan jatuhnya koin. Memungut koin tanpa menggubris dari mana asal koin itu.

Pekerja di atas tidak kurang akal. Karena koin juga cuma ada dua, lalu ia lemparkan kerikil. Dan tepat mengenai helm pelindung kerja sang mandor. Lalu sang mandor pun menengadah sambil pasang raut marah.

Seringnya manusia mendapat kemudahan dan rizki yang tiada putus. Tetapi sedikit yang mampu seketika menengadah mensyukuri nikmat-Nya. Tiba giliran dapat musibah kecil, ia langsung menoleh ke atas. Mengadu kepada yang Kuasa. Demikianlah manusia.

Jumat, 10 April 2009

Sayangku


Sayangku
Waktu bersamamu amat berharga

Dengarkanlah

Berkisah seorang kepadaku tentang hidupnya. Agar kiranya aku dapat memetik hikmah darinya. Seorang yang merasakan kebodohan dalam dirinya. Membiarkan setan menggerogoti jiwanya yang bersih. Menghitamkan sebagiannya. Mengajaknya berselingkuh dengan kekafiran atas nikmat Ilahi.

Hati memang sulit diterka. Karena sifatnya yang mudah berpindah. Hati yang selalu terbolak-balik. Kadang bahagia, senang, dan mulia berada. Sedetik kemudian duka melanda, sedih, dan murung menerpa. Hati gundah-gulana karena hilang tempat bersandarnya. Bingung dengan tempat kembalinya. Mau dibawa ke mana?

Jawabannya ada pada dirimu sendiri.
Kita yang tahu.
Kita yang mau.
Kita yang mampu.
Kembali kepada-Nya.
Tiada tempat kembali kecuali hanya kepada-Nya.

Sempurnakan bekal taqwa

Bahagia Kita

Bahagia Kita
Tengah merasakan sunyi
Lelaki pendiam mendadak
Punggung tertimpa beban
Mata memerah
Rambut kusut

Bahagia Kita
Sepi
Lunglai
Kehampaan terjadi
Semua berhenti
Tiba-tiba
Siapa penyadar setia
Jiwa haus
Jiwa kosong
Jiwa berhenti

Bahagia
Bahagia


Sabtu, 04 April 2009

Satu Meter

Semua benda memiliki ukuran. Ada yang nampak tingginya. Ada yang teridentifikasi luasnya. Ada juga yang dikenal beratnya. Ukuran berat, tinggi, luas, dan panjang serta lainnya bukan semata-mata ukuran. Ada hikmah di balik berbagai ukuran itu.
Bayangkan jika semua benda berukuran satu meter. Apa jadinya dunia ini? Bumi hanya seluas satu meter. Karena itu, ada hikmah pada satu meter. Ada hikmah pada ukuran. Ada hikmah pada kata-kata ringan. Kalau kita mau mencarinya.
Thank's . . .

Minggu, 29 Maret 2009

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Oleh: A. Fatih Syuhud

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.
Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.

Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

Penutup

Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.

Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994).

Kandidat Doktor Islamic Studies, di Jamia Millia University, New Delhi, India dan alumni Sidogiri

1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam.
2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981).
3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.

Bibliografi

Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1

Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.

Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.

Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.

Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.

Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.

Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.

Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.

Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.

Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of Medicine, 315, 690-694

Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of Adolescence, 6, 373-385.

Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral Education, 13, 152-159.

Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.

Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.

Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359.

Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.

Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.

Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.

Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University, hlm.82-84.

Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.

Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322.

Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.

Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.

Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.

Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.

Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.

UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.

Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164.

Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.

Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.

Jumat, 27 Maret 2009

Jazakumullah

Terimakasih dalam bahasa kita
Abdi atur nuhun
Matur nuwun ingkang kathah
Mator kesoon
Thank you
Arigato gozaimas
Merci
Syukron wa Jazakumullah
Buat Ikhwah Fillah di Salam UI

Jaketnya bermanfaat

Rabu, 25 Maret 2009

Kalbu Bening

Katakan bahwa hatimu bening
Berikan ruang sabar
Lapangkan

Nikmatnya bukan kepalang
Orang bisa sabar
Orang menerima apa adanya

Nikmatnya sungguh mendalam
Apa yang diberi cukup dirasa
Tiada meronta menuntut apa saja

Nikmat hidup bersahaja
Qanaah dalam bahasa agama


Selasa, 24 Maret 2009

Seuntai Bunga Layu

Lelah itu ada
Letih pun dirasa
Bertumpuk problema di muka
Menggunung asa terbungkam di ruang hampa

Detik ini terjual
Dibeli oleh menit
Menit pun laku
Dibeli hitungan jam
Seribu jam pun tergadai
Oleh sepinya jiwa
Kosongnya rasa

Berlari menerjang angin
Memburu seribu waktu
Mengejar berjuta harapan
Terpotong seketika
Hati menjadi gundah-gulana

Adakah sepi menjemput keramaian
Ataukah sepi berujung kematian
Buat semua menjadi nyata
Supaya hati tahan dari goda
Dan jangan pernah merasa sendiri

Minggu, 22 Maret 2009

Meluruskan Tanpa Menyakiti


Judul : Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi

Penulis : Abu Abdirrahman Al Thalibi

Penerbit : Hujjah Press (Jakarta Timur)

Tebal : xx + 180 hlm

Ukuran : 15 X 24 cm

Cetakan : Kedua, Maret 2006

ISBN : 979-28810-1-4

Harga : Rp -


Mendengar kata ‘Salafi’ sebagian orang mendefinisikan sebagai kumpulan orang yang mengenakan jubah, celana di atas mata kaki, berjenggot, dan yang perempuan bercadar. Pandangan seperti itu sah-sah saja. Karena definisi tersebut lahir dari fenomena yang dapat dilihat secara kasat mata. Ini memberikan arti identik. Meski identik, tetapi bukan merupakan identitas khusus.

Membaca ruang publik dengan ragam interaksi yang ada dirasa sangat menarik. Karena di sana pola komunikasi massa memiliki pengaruh-pengaruh terhadap hubungan sosial sesama anggota masyarakat. Lebih lagi suasana interaksi yang ada dibumbui dengan konflik berbau klaim kebenaran dan penyalahan terhadap pihak lain. Dan klaim kebenaran itu terjadi bukan hanya antar keyakinan satu dengan keyakinan lain. Bahkan ini terjadi dalam satu keyakinan yang diturunkan menjadi rahmat seluruh alam, Islam.

Mengaku dirinya benar atau mengaku hanya dirinya saja yang benar? Keduanya terlampau berat untuk dikatakan jika hanya menjadi simbol. Kalau pengakuan itu hanya sebatas retorika belaka. Atau sekadar pemanis bibir. Maka, tidaklah kemudian pengakuan itu secara de yure menjadi ‘dalil’ kebenaran yang diakuinya. Demikian pula, tidaklah semua orang yang tidak mengaku dirinya pemangku kebenaran, tetapi secara de facto mereka justru menyatu dengan kebenaran itu sendiri dalam bentuk amal nyata.

Siapakah yang dianggap salah? Siapa pula yang mendakwakan kebenaran atas dirinya? Sementara antara yang dianggap salah dan yang mengaku benar keduanya sama-sama berpegang teguh kepada ‘Laa ilaaha illallah’?

“Ini adalah sebuah pembahasan tentang dinamika dakwah Islam di Indonesia. Saya sengaja megambil topik tentang sebuah komunitas kajian Islam yang dikenal luas dengan sebuatan Salafy atau Salafiyin.”, ungkap penulis dalam mukaddimah buku ini. (h. 1) Maka dapat dipahami dengan mudah kehadiran buku ini merupakan kritik membangun bagi kelompok Salafy sebagai obyek kajian utamanya. Sementara bagi para aktivis dakwah Islam dapat menjadi renungan dalam menjalankan tugasnya.

Abu Abdirrahman, sengaja menyajikan kegundahan hatinya pada buku ini salah satunya dalam bentuk nasehat. Hatinya ingin meluruskan beberapa sikap yang dicatat sebagai hal yang melampaui batas. Sikap dari sebuah komunitas muslim yang dikenal dengan sebutan Salafy itu. Mereka (Salafy) dikenal giat mengkritisi kesalahan pihak lain. Pada saat inilah waktu bagi mereka untuk menerima kritik. Agar tidak ada monopoli dalam menegakkan kebenaran. (h. 2)

Buku ini setidaknya memiliki 15 pokok pikiran. Dalam tiap pokok pikiran itu berkembang dalam kalimat-kalimat utama yang akan dipertajam ulasannya. Sebagai contoh, penulis mengawali dengan pokok pikiran tentang istilah Salafy itu sendiri. Maka penajaman ulasan ada pada makna harifiah, sejarah, dan pengaruhnya.

Meski unsur pembahasan sudah memadai, tetapi alangkah ‘indahnya’ bila penulis semakin menunjukkan kekuatan ‘ilmiah’ nya dengan menyempurnakan rujukan-rujukan konkrit dalam bentuk foot note, misalnya. Dengan itu, pembaca yang memiliki perhatian lebih, tidak sekadar membaca tetapi juga meneliti, bisa mengakses referensi dengan mudah. Seperti ketika merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir (h. 23) dan beberapa hadits (h. 8, 27, dll), alangkah semakin lengkapnya penulis menyertakan ‘di mana’ ia temukan perkatan itu. Juz ke berapa? Halaman ke berapa?.

Istilah salafy, salafiyah, salafiyun, salafiyin, dan salaf masing-masing memiliki makna tersendiri dan digunakan dalam situasi yang berbeda. Namun semuanya memiliki satu akar yaitu ‘salaf’. Arti salaf sendiri adalah terdahulu, telah berlalu, telah selesai, kaum masa lalu, dsb. Secara istilah yang dimaksud salaf di sini adalah salafus shalih, yaitu generasi Sahabat Rasulullah saw, generasi Tabi’in, dan generasi Tabi’ut Tabi’in (para pengikut Tabi’in). Hal ini dipahami berdasar sabda Rasulullah saw tentang sebaik-baik kurun adalah kurunku (kurun Nabi saw dan para sahabatnya), lalu orang-orang yang datang sesudahnya, lalu orang-orang yang datang sesudahnya. (h. 8) Hanya saja, penulis tidak menginformasikan lebih riil sumber hadits tersebut.

Pada pokok pikiran lainnya, penulis mengurai adanya kesan kuat bahwa komunitas salafiyah di Indonesia terpecah dalam dua kelompok besar yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Ada Salafy Yamani dan Salafy Haraki. (h. 20)

Dalam pandangan penulis, Salafy Yamani telah melakukan beberapa penyimpangan. Diantaranya, ketika menyikapi ahlu bid’ah secara generalisir. Tanpa rincian kasus dan latar belakang. Sehingga ahli bid’ah diberikan hak untuk direndahkan, dihinakan, tidak berteman, dan lainnya. (h. 61)

Perilaku takfir juga mereka lakukan. Sementara secara umum mereka juga membenci perilaku itu. (h. 71) Cap kafir pernah dilemparkan kepada Yusuf Al-Qardhawi. Ja’far Umar, pernah menyebutnya sebagai Aduwwullah. (h. 72) Sejauh mana alasan pengkafiran itu dalam buku ini tidak banyak diulas. Sehingga kritik penulis atas sikap Ja’far Umar terhadap Yusuf Al-Qardhawi belum sepenuhnya masak. Masih perlu bumbu latar belakang ungkapan. Bahkan penulis sendiri kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menilainya. Tapi pun demikian, hal ini menjadi langkah strategis penulis untuk tidak ikut terjebak pada perilaku takfir.

Buku ‘ringan’ tapi ‘berat’ ini dicetak pertama pada Pebruari 2006. Ringan dalam arti tidak terlalu tebal. Berat dalam pandangan konsekuensi logis setelah membaca. Karena kemungkinan yang terjadi adalah pembaca akan melakukan justifikasi. Maka penulis memberikan pandangan prefentif dalam ungkapannya, ‘Tujuan dari nasehat ini ialah demi kebaikan dakwah Islam di Indonesia. Saya tidak merasa senang dengan menyerang orang lain, juga tidak merasa senang jika hak-hak saya dilanggar secara tidak adil.’ (h. 2)

Karenanya jika ada ‘noda hitam’ menempel di baju. Segera kita cuci supaya bersih. Bukan dengan cara menempelkan ‘noda putih’ untuk menutupinya. Maka langkah yang tepat adalah berbenah diri. Merubah sikap dari yang minus menjadi plus. Tidak perlu membukuputihkan diri. Kalau ada yang menerbitkan ‘Rapot Merah’ tidak perlu menyusun ‘Rapot Biru’ untuk ‘mensucikan’ diri. Biarlah kritik itu menjadi perenungan semua pihak. Utamanya kepada pihak kritikus dan Salafy sebagai sasaran kritik. Sebab ‘ulama, para imam juga telah menasehati dengan perkataan, ‘Semua ucapan bisa diterima, dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah saw.’

Penulis buku ini menambah daftar kritikannya dengan menampilkan tokoh yang berpengaruh di tubuh Salafy Yamani. Syaikh Muqbil bin Hadi namanya. Lahir di Yaman dengan kondisi sosio kultural yang keras menjadi latar belakang sikap kerasnya terhadap pihak lain yang dianggap menyimpang. (h. 111) Dua hal lain yang menjadi faktor sikap kerasnya itu adalah konflik antar aliran yang berlangsung keras dan proses pribadi yang dialami dirinya ketika dipaksa melepas ajaran salafiyah. (h. 112)

Buku ini sesungguhnya mampu menjadi koreksi atas sikap-sikap ‘kurang bersahabat’ dari saudara-saudara Salafy terhadap muslim lainnya. Keterus-terangan penulis dalam bentuk karya tulisan ini memberi peluang untuk saling berbenah. Konflik, masalah, dan pro kontra pasti akan ada. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersikap atas problematika, konflik atau pro kontra tersebut.

Maka antara Penulis dengan Ja’far Umar Thalib dari kalangan Salafy bisa saling berbenah. Antara agen-agen salafy dalam ruang publikasi baik orator maupun alat media bisa dengan santun menyampaikan argumennya. Ada nama Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al-Malanji dengan Abdurrahman Attamimi bisa duduk bertukar pikiran dengan sejuk. Media-media yang berafiliasi dengan kelompok ini pun saling membangun jaringan. Majalah Asy Syari’ah, As Sunnah, situs www.salafy.or.id, saling bahu membahu menjunjung dakwah Islam.

Dalam kalimat penutupnya, penulis memberikan catatan yang cukup bijaksana. Dari lembar ini pembaca kembali diingatkan dengan tujuan penulisan buku ini. Tidak hanya kritik, hal positif dari Salafy pun diulas dengan baik. Sehingga prinsip berdakwah bukan menelanjangi atau menghakimi di buku ini tampil dengan proporsional.

Baiknya kalangan yang intens, perhatian, dan fokus kepada dakwah bisa mengambil mutiara hikmah di dalam ‘danau’ kritik buku ini. Dari judulnya saja, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, pembaca bisa menilai kearifan penulis dalam menyusun kalimat. Tidak bernada provokatif atau melecehkan.

Buku yang relatif terjangkau harganya (sekitar 25 ribua-an) ini perlu dibaca. Persoalan membeli atau meminjam bukan soal pokok. Tetapi jika ingin memiliki, saran pembelian buku ini bisa jadi alternatif solusi. Kalau buku dirasa mahal, belilah dengan berkelompok. Buku dengan harga 30 ribu, jika harus membeli sendiri akan terasa berat. Coba ketika membeli buku dengan harga 30 ribu ditanggung 6 orang dalam suatu anggota pengajian. Maka satu orang cukup mengeluarkan 5 ribu. Dan membacanya pun bisa bergantian. Bisa untuk koleksi perpustakaan masjid. Dan yang jelas ringan. Jadi tunggu apa lagi untuk menambah ilmu dengan membaca buku?

© Mei, 2006, Abu Ukkasyah Adi bin Hadi al-Banjarnegary