STIKER ISLAMI

Kami kerjakan untuk mendukung Dakwah dan Jihad!!!!

Minggu, 29 Maret 2009

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Oleh: A. Fatih Syuhud

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.
Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.

Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

Penutup

Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.

Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994).

Kandidat Doktor Islamic Studies, di Jamia Millia University, New Delhi, India dan alumni Sidogiri

1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam.
2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981).
3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.

Bibliografi

Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1

Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.

Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.

Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.

Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.

Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.

Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.

Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.

Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.

Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of Medicine, 315, 690-694

Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of Adolescence, 6, 373-385.

Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral Education, 13, 152-159.

Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.

Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.

Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359.

Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.

Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.

Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.

Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University, hlm.82-84.

Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.

Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322.

Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.

Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.

Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.

Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.

Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.

UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.

Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164.

Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.

Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.

Jumat, 27 Maret 2009

Jazakumullah

Terimakasih dalam bahasa kita
Abdi atur nuhun
Matur nuwun ingkang kathah
Mator kesoon
Thank you
Arigato gozaimas
Merci
Syukron wa Jazakumullah
Buat Ikhwah Fillah di Salam UI

Jaketnya bermanfaat

Rabu, 25 Maret 2009

Kalbu Bening

Katakan bahwa hatimu bening
Berikan ruang sabar
Lapangkan

Nikmatnya bukan kepalang
Orang bisa sabar
Orang menerima apa adanya

Nikmatnya sungguh mendalam
Apa yang diberi cukup dirasa
Tiada meronta menuntut apa saja

Nikmat hidup bersahaja
Qanaah dalam bahasa agama


Selasa, 24 Maret 2009

Seuntai Bunga Layu

Lelah itu ada
Letih pun dirasa
Bertumpuk problema di muka
Menggunung asa terbungkam di ruang hampa

Detik ini terjual
Dibeli oleh menit
Menit pun laku
Dibeli hitungan jam
Seribu jam pun tergadai
Oleh sepinya jiwa
Kosongnya rasa

Berlari menerjang angin
Memburu seribu waktu
Mengejar berjuta harapan
Terpotong seketika
Hati menjadi gundah-gulana

Adakah sepi menjemput keramaian
Ataukah sepi berujung kematian
Buat semua menjadi nyata
Supaya hati tahan dari goda
Dan jangan pernah merasa sendiri

Minggu, 22 Maret 2009

Meluruskan Tanpa Menyakiti


Judul : Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi

Penulis : Abu Abdirrahman Al Thalibi

Penerbit : Hujjah Press (Jakarta Timur)

Tebal : xx + 180 hlm

Ukuran : 15 X 24 cm

Cetakan : Kedua, Maret 2006

ISBN : 979-28810-1-4

Harga : Rp -


Mendengar kata ‘Salafi’ sebagian orang mendefinisikan sebagai kumpulan orang yang mengenakan jubah, celana di atas mata kaki, berjenggot, dan yang perempuan bercadar. Pandangan seperti itu sah-sah saja. Karena definisi tersebut lahir dari fenomena yang dapat dilihat secara kasat mata. Ini memberikan arti identik. Meski identik, tetapi bukan merupakan identitas khusus.

Membaca ruang publik dengan ragam interaksi yang ada dirasa sangat menarik. Karena di sana pola komunikasi massa memiliki pengaruh-pengaruh terhadap hubungan sosial sesama anggota masyarakat. Lebih lagi suasana interaksi yang ada dibumbui dengan konflik berbau klaim kebenaran dan penyalahan terhadap pihak lain. Dan klaim kebenaran itu terjadi bukan hanya antar keyakinan satu dengan keyakinan lain. Bahkan ini terjadi dalam satu keyakinan yang diturunkan menjadi rahmat seluruh alam, Islam.

Mengaku dirinya benar atau mengaku hanya dirinya saja yang benar? Keduanya terlampau berat untuk dikatakan jika hanya menjadi simbol. Kalau pengakuan itu hanya sebatas retorika belaka. Atau sekadar pemanis bibir. Maka, tidaklah kemudian pengakuan itu secara de yure menjadi ‘dalil’ kebenaran yang diakuinya. Demikian pula, tidaklah semua orang yang tidak mengaku dirinya pemangku kebenaran, tetapi secara de facto mereka justru menyatu dengan kebenaran itu sendiri dalam bentuk amal nyata.

Siapakah yang dianggap salah? Siapa pula yang mendakwakan kebenaran atas dirinya? Sementara antara yang dianggap salah dan yang mengaku benar keduanya sama-sama berpegang teguh kepada ‘Laa ilaaha illallah’?

“Ini adalah sebuah pembahasan tentang dinamika dakwah Islam di Indonesia. Saya sengaja megambil topik tentang sebuah komunitas kajian Islam yang dikenal luas dengan sebuatan Salafy atau Salafiyin.”, ungkap penulis dalam mukaddimah buku ini. (h. 1) Maka dapat dipahami dengan mudah kehadiran buku ini merupakan kritik membangun bagi kelompok Salafy sebagai obyek kajian utamanya. Sementara bagi para aktivis dakwah Islam dapat menjadi renungan dalam menjalankan tugasnya.

Abu Abdirrahman, sengaja menyajikan kegundahan hatinya pada buku ini salah satunya dalam bentuk nasehat. Hatinya ingin meluruskan beberapa sikap yang dicatat sebagai hal yang melampaui batas. Sikap dari sebuah komunitas muslim yang dikenal dengan sebutan Salafy itu. Mereka (Salafy) dikenal giat mengkritisi kesalahan pihak lain. Pada saat inilah waktu bagi mereka untuk menerima kritik. Agar tidak ada monopoli dalam menegakkan kebenaran. (h. 2)

Buku ini setidaknya memiliki 15 pokok pikiran. Dalam tiap pokok pikiran itu berkembang dalam kalimat-kalimat utama yang akan dipertajam ulasannya. Sebagai contoh, penulis mengawali dengan pokok pikiran tentang istilah Salafy itu sendiri. Maka penajaman ulasan ada pada makna harifiah, sejarah, dan pengaruhnya.

Meski unsur pembahasan sudah memadai, tetapi alangkah ‘indahnya’ bila penulis semakin menunjukkan kekuatan ‘ilmiah’ nya dengan menyempurnakan rujukan-rujukan konkrit dalam bentuk foot note, misalnya. Dengan itu, pembaca yang memiliki perhatian lebih, tidak sekadar membaca tetapi juga meneliti, bisa mengakses referensi dengan mudah. Seperti ketika merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir (h. 23) dan beberapa hadits (h. 8, 27, dll), alangkah semakin lengkapnya penulis menyertakan ‘di mana’ ia temukan perkatan itu. Juz ke berapa? Halaman ke berapa?.

Istilah salafy, salafiyah, salafiyun, salafiyin, dan salaf masing-masing memiliki makna tersendiri dan digunakan dalam situasi yang berbeda. Namun semuanya memiliki satu akar yaitu ‘salaf’. Arti salaf sendiri adalah terdahulu, telah berlalu, telah selesai, kaum masa lalu, dsb. Secara istilah yang dimaksud salaf di sini adalah salafus shalih, yaitu generasi Sahabat Rasulullah saw, generasi Tabi’in, dan generasi Tabi’ut Tabi’in (para pengikut Tabi’in). Hal ini dipahami berdasar sabda Rasulullah saw tentang sebaik-baik kurun adalah kurunku (kurun Nabi saw dan para sahabatnya), lalu orang-orang yang datang sesudahnya, lalu orang-orang yang datang sesudahnya. (h. 8) Hanya saja, penulis tidak menginformasikan lebih riil sumber hadits tersebut.

Pada pokok pikiran lainnya, penulis mengurai adanya kesan kuat bahwa komunitas salafiyah di Indonesia terpecah dalam dua kelompok besar yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Ada Salafy Yamani dan Salafy Haraki. (h. 20)

Dalam pandangan penulis, Salafy Yamani telah melakukan beberapa penyimpangan. Diantaranya, ketika menyikapi ahlu bid’ah secara generalisir. Tanpa rincian kasus dan latar belakang. Sehingga ahli bid’ah diberikan hak untuk direndahkan, dihinakan, tidak berteman, dan lainnya. (h. 61)

Perilaku takfir juga mereka lakukan. Sementara secara umum mereka juga membenci perilaku itu. (h. 71) Cap kafir pernah dilemparkan kepada Yusuf Al-Qardhawi. Ja’far Umar, pernah menyebutnya sebagai Aduwwullah. (h. 72) Sejauh mana alasan pengkafiran itu dalam buku ini tidak banyak diulas. Sehingga kritik penulis atas sikap Ja’far Umar terhadap Yusuf Al-Qardhawi belum sepenuhnya masak. Masih perlu bumbu latar belakang ungkapan. Bahkan penulis sendiri kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menilainya. Tapi pun demikian, hal ini menjadi langkah strategis penulis untuk tidak ikut terjebak pada perilaku takfir.

Buku ‘ringan’ tapi ‘berat’ ini dicetak pertama pada Pebruari 2006. Ringan dalam arti tidak terlalu tebal. Berat dalam pandangan konsekuensi logis setelah membaca. Karena kemungkinan yang terjadi adalah pembaca akan melakukan justifikasi. Maka penulis memberikan pandangan prefentif dalam ungkapannya, ‘Tujuan dari nasehat ini ialah demi kebaikan dakwah Islam di Indonesia. Saya tidak merasa senang dengan menyerang orang lain, juga tidak merasa senang jika hak-hak saya dilanggar secara tidak adil.’ (h. 2)

Karenanya jika ada ‘noda hitam’ menempel di baju. Segera kita cuci supaya bersih. Bukan dengan cara menempelkan ‘noda putih’ untuk menutupinya. Maka langkah yang tepat adalah berbenah diri. Merubah sikap dari yang minus menjadi plus. Tidak perlu membukuputihkan diri. Kalau ada yang menerbitkan ‘Rapot Merah’ tidak perlu menyusun ‘Rapot Biru’ untuk ‘mensucikan’ diri. Biarlah kritik itu menjadi perenungan semua pihak. Utamanya kepada pihak kritikus dan Salafy sebagai sasaran kritik. Sebab ‘ulama, para imam juga telah menasehati dengan perkataan, ‘Semua ucapan bisa diterima, dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah saw.’

Penulis buku ini menambah daftar kritikannya dengan menampilkan tokoh yang berpengaruh di tubuh Salafy Yamani. Syaikh Muqbil bin Hadi namanya. Lahir di Yaman dengan kondisi sosio kultural yang keras menjadi latar belakang sikap kerasnya terhadap pihak lain yang dianggap menyimpang. (h. 111) Dua hal lain yang menjadi faktor sikap kerasnya itu adalah konflik antar aliran yang berlangsung keras dan proses pribadi yang dialami dirinya ketika dipaksa melepas ajaran salafiyah. (h. 112)

Buku ini sesungguhnya mampu menjadi koreksi atas sikap-sikap ‘kurang bersahabat’ dari saudara-saudara Salafy terhadap muslim lainnya. Keterus-terangan penulis dalam bentuk karya tulisan ini memberi peluang untuk saling berbenah. Konflik, masalah, dan pro kontra pasti akan ada. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersikap atas problematika, konflik atau pro kontra tersebut.

Maka antara Penulis dengan Ja’far Umar Thalib dari kalangan Salafy bisa saling berbenah. Antara agen-agen salafy dalam ruang publikasi baik orator maupun alat media bisa dengan santun menyampaikan argumennya. Ada nama Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al-Malanji dengan Abdurrahman Attamimi bisa duduk bertukar pikiran dengan sejuk. Media-media yang berafiliasi dengan kelompok ini pun saling membangun jaringan. Majalah Asy Syari’ah, As Sunnah, situs www.salafy.or.id, saling bahu membahu menjunjung dakwah Islam.

Dalam kalimat penutupnya, penulis memberikan catatan yang cukup bijaksana. Dari lembar ini pembaca kembali diingatkan dengan tujuan penulisan buku ini. Tidak hanya kritik, hal positif dari Salafy pun diulas dengan baik. Sehingga prinsip berdakwah bukan menelanjangi atau menghakimi di buku ini tampil dengan proporsional.

Baiknya kalangan yang intens, perhatian, dan fokus kepada dakwah bisa mengambil mutiara hikmah di dalam ‘danau’ kritik buku ini. Dari judulnya saja, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, pembaca bisa menilai kearifan penulis dalam menyusun kalimat. Tidak bernada provokatif atau melecehkan.

Buku yang relatif terjangkau harganya (sekitar 25 ribua-an) ini perlu dibaca. Persoalan membeli atau meminjam bukan soal pokok. Tetapi jika ingin memiliki, saran pembelian buku ini bisa jadi alternatif solusi. Kalau buku dirasa mahal, belilah dengan berkelompok. Buku dengan harga 30 ribu, jika harus membeli sendiri akan terasa berat. Coba ketika membeli buku dengan harga 30 ribu ditanggung 6 orang dalam suatu anggota pengajian. Maka satu orang cukup mengeluarkan 5 ribu. Dan membacanya pun bisa bergantian. Bisa untuk koleksi perpustakaan masjid. Dan yang jelas ringan. Jadi tunggu apa lagi untuk menambah ilmu dengan membaca buku?

© Mei, 2006, Abu Ukkasyah Adi bin Hadi al-Banjarnegary

Jiwa Wirausaha dalam Islam


Bersyukur kepada Allah swt atas limpahan anugrah yang tiada hentinya. Gagasan setiap saat mengalir membuka kesempatan. Ide cerdas memberikan peluang semakin terbuka luas. Kelapangan hati menumbuhkan sikap sabar dalam usaha memanfaatkan anugrah Nya itu. Dan yang terpenting adalah nilai keimanan yang menjadi dasar dalam setiap aktivitas. Termasuk dalam menjalankan roda usaha. Maka berjiwa wirausaha dengan motivasi keimanan. Dan keimanan yang mampu membangkitkan jiwa wirausaha.

Nilai Wirausaha

Langkah bekerja merupakan wujud akhlak muslim yang baik. Upaya mencari karunia Allah swt di hamparan bumi menjadi sebuah keharusan untuk mencapai kemakmuran. Tiada lain proses berusaha adalah kemutlakan yang mesti dilakukan. Bekerja dan berwirausaha dalam rangka mengabdikan diri melaksanakan perintah-Nya.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوا فِيْ مَنَاكِبِهَا وكُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ

Artinya: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya. (QS. Al-Mulk/ 60: 15)

Bumi yang terhampar telah tersedia. Maka penjuru manapun yang ada di bumi ini menjadi tanggung jawab manusia dalam pemakmurannya. Sudut-sudut terpencil bumi ini akan mengalirkan mata air kehidupan. Karenanya tidak lain hanyalah manusia harus sadar akan beban yang dipikulnya. Pengelolaan bumi ini erat kaitannya dengan pengabdian hamba kepada Allah swt. sebagaimana telah diajarkan Nabi Shalih as. kepada kaumnya:

يَا قَوْمِ اعْـبُدُوا الله مَالَكُمْ مِنْ إِلهٍ غَيْرِهِ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ اْلأَرْضِ وَ اسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا

Artinya: “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dia telah menciptakan kamu ari tanah (bumi) dan menjadikankamu sebagai pemakmurnya.” (QS. Hud/ 11: 61)

Siapa saja yang menghendaki karunia Allah swt maka keharusan baginya berusaha. Jika hanya duduk, diam, malas, dan sekalipun berdo’a sepanjang hari memohon karunia -Nya, maka sesungguhnya emas tidak jatuh dari langit. Bertawakkal bukan demikian caranya. Kaidah ikhtiar tidak semacam itu.

اِعْقِلْهَا وَ تَوَكَّلْ

Artinya: Ikatlah untamu itu (dahulu) dan barulah bertawakkalah. (HR. Turmudzi, Ibnu Majah)

Baik kiranya semboyan hidup seorang muslim:

إِبْذِرِ الْحَبَّ وَارْجُ الثّمَارَ مِنَ الرَّبِّ

Artinya: Taburkanlah benih, dan berharaplah buahnya dari Allah swt

Teladan Wirausaha

Rasulullah saw di masa kecilnya sering menggembala kambing milik orang lain. Padahal upah yang diterimanya pun relatif kecil. Dari pendidikan pamannya, Abu Thalib, beliau di waktu remaja pernah diajak ke negeri Syam untuk berniaga. Pun ketika beranjak dewasa, jiwa wirausahanya kembali teruji. Beliau berdagang lagi ke negeri Syam. Kali ini membawa dagangan saudagar perempuan kaya yang kelak menjadi istrinya. Masa kecil, masa remaja dan dewasa Rasulullah saw. tidak luput dari sentuhan nilai-nilai wirausaha.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw pernah bersabda:

مَا بَعَثَ الله نَبِياًّ إِلاَّ وَ رَعَى الْغَنَمَ قَالُوْا: وَ أَنْتَ يَارَسُوْلَ الله؟ قَالَ: نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيْطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

Artinya: Allah tidak mengutus seorang nabi, melainkan dia itu menggembala kambing. Para sahabat bertanya: Apakah Tuan sendiri ya Rasulullah? Beliau menjawab, Ya, saya menggembala ternak penduduk Makkah dengan upah beberapa qirat.” (H.R. Bukhari)

Keteladanan yang telah dicontohkan itu dikuatkan dengan petunjuk dan arahan teoritis. Bimbingan bagi para wirausahawan dalam menggerakkan roda bisnisnya. Supaya arah tujuan usaha terkontrol. Pergerakan usaha tidak kosong dari semangat ibadah. Semangat mencapai kemuliaan di sisi-Nya.

Rasulullah saw memberikan wejangan ringkas tetapi cakupannya luas. Seluas bidang garap usaha manusia. Sabdanya:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Artinya: Tidak ada sesuatu makanan yang lebih baik bagi seseorang, melainkan apa yang dihasilkan dari karya tangan sendiri. (H. R. Bukhari)

Secara khusus Rasulullah saw menyemangati profesi wirausaha perdagangan dengan sabdanya:

التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءُ

Artinya: “Pedagang yang jujur lagi amanah, adalah bersama-sama para Nabi, orang-orang yang benar, dan orang-orang yang syahid.”

Dalam bidang garapan pertanian dan perkebunan Rasulullah saw menaruh perhatian dengan sabdanya:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَزْرَعُ زَرْعًا أَوْ يَغْرِسُ غَرْسًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Artinya: “Tidak seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang, makan sebagian darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya.” (H. R. Bukhari)

Do’a Wirausaha

Kekuatan usaha harus berjalan bersama kekuatan do’a. Karena itu untuk menjaga keberlangsungan usaha hendaklah selalu memohon perlindungan kepada Allah swt dari hal-hal yang bisa melemahkan semangat.

اللّهُمَّ إِنيِّ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَ الْحَزَنِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُبْنِ و الْبُخْلِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَ قَهْرِ الرِّجَالِ

Artinya: “Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan an kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari dari sifat pengecut dan kikir, serta aku berlindung kepada-Mu dari hutangdan tekanan orang lain” ((H. R. Bukhari dan Au Dawud)

Tanggung Jawab

Bekerja dan berwirausaha merupakan jalan pengabdian. Kelengkapan indra manusia di bumi ini diberdayakan untuk mengelola anugrah Allah swt sekecil apapun. Karena itulah prinsip seorang wirausahawan adalah bertanggungjawab atas profesi yang digelutinya. Dari bidang garapan itulah ia mendapatkan rizki yang halal. Dalam menunaikan tugas wirausahanya dilakukan dengan tulus. Niat untuk beribadah menancap kuat. Optimalisasi potensi dalam bekerja dengan selalu menghadirkan niat untuk menggapai mardhatillah (keridhaan Allah). Usaha demi usaha selalu beriringan dengan do’a. Dan ada baiknya, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki bisa ditularkan kepada orang lain. Semoga menjadi salah satu bentuk ilmu yang bermanfaat. Amal jariyah © Abu Ukkasyah Adi bin Hadi al-Banjarnegary

Sabtu, 21 Maret 2009

Jadi Iri


Aku iri. Melihat kebaikan yang kau tumpuk begitu banyak. Kau selalu mendahuluiku dalam kebaikan. Aku iri. Pada saat aku tidur. Engkau bangun, beridir untuk shalat malam. Saat aku bermain game, kau terlihat khusyu' membaca Shahih Bukhari. Aku benar-benar iri dengan kebaikanmu yang menumpuk itu.
Saat aku asyik ngobrol, engkau berdialog dengan 30 Juz tafsir Ibnu Katsir. Sewaktu aku keliling mencari penghidupan, engkau justru telah berbagi rizki. Kau selalu mendahuluiku dalam kebaikan. Aku sangat iri. Kapan aku bisa mengunggulimu!
Aku sungguh iri dengan kebaikanmu yang menggunung itu.
Yaa Rabb kuatkanlah aku untuk berusaha menjadi yang terbaik di hadapan-Mu.

Bagian Terindah


Puasa yang kita lakukan tentu punya kadar kesan. Kesan yang kuat ketika puasa dilakukan dengan kepayahan yang berat. Kadang juga puasa running, berjalan begitu saja. Tidak terlalu merasakan payah atau berat.
Puasa memang memberikan pengaruh lho. Pengaruh yang amat baik bagi pelakunya. Bisa mengendalikan diri. Bisa membuat sabar. Dan juga bisa mendidik jiwa agar tenang dalam menghadapi masalah. Setiap individu pun akan merasakan manfaatnya. Insya Allah mereka yang tekun berpuasa baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan itu akan mengambil hikmah. Merasakan manfaat yang mendalam.
Mendapatkan kegembiraan yang luar biasa. Gembira ketika berbuka. Gembira saat berjumpa kelak dengan Allah 'Azza wa Jalla. Jadi kapan mau puasa sunnah?

Kamis, 19 Maret 2009

Kenali Dirimu

Huuuaammmmmmmm
Ngantuk berat nih. Semalam otak harus diperas. Ya, untuk menggambarkan situasi kepala yang fokus banget. Malah bisa jadi otak ini serasa di'blender' biar lebur semua ide. Nyampur sekian data dan informasi. Lalu diolah, diaduk, dituangkan dalam bentuk konkret. Wuihhhhh segerrrr.
Ya ntu kalu es jus. Kalau jus otak? Apa kepala nga jadi muter nga keruan. Suerrrr.

..................................................................

Gerutu seperti di atas mungkin pernah dirasakan setiap orang.

Yang masih sekolah pasti mikirin hasil ulangan jeblok, PR menumpuk, tugas makalah, persiapan ujian akhir, dan sebagainya. Pusing dan pusing selalu hinggap.

Yang udah kerja juga bingung. Bentar lagi aa PHK. Bentar lagi ada pengurangan tenaga kerja. Bentar lagi nikah. Belum punya tabungan.

Yang udah nikah, duhhhh gimana nih, bentar lagi anak lahir. Uang buat persalinan belum cukup. Duuuhh gimaman!

Yang udah punya anak bingung juga. Mendekati pendaftaran murid baru. Uang masuk play group udah menyundul langit. Yang murah juga ada, cuma apa ya tega masukin anak asal-asalan. Nga mau to orang tua menyesal karena salah masuk lembaga yang mendidik anak semau gue. Ndak pake teori. Pokoknya bisa nyanyi, nulis, dan baca cukup. Lha ngajinya? Hafalan haditsnya?

Terus akan selalu berhadapan dengan permasalahan.

Kuncinya sebetulnya ada di dalam jiwa kita. Kalau mau sabar meniti satu per satu permasalahan toh nanti akan ketemu jalannya. Yakin saja. Jangan putus asa dengan ujian dari-Nya. Semua ada jalan keluarnya. Beneran!

Menata (Diri)

Asing
Semata-mata menjadi terasing
Selangkah terasing
Kecil
Serasa menjadi kecil
Mengerdil
Langkahku menatap pagi
Esok menjelang
Harapan jangan terbuang

Rabu, 18 Maret 2009

Kata yang indah belum tentu indah pula dirasakan. Senyum yang manis belum tentu berbuah bahagia. Kau tahu, di balik kata-kata tersimpan luka atau cinta? Kau tahu, di arah yang lain senyum itu berwajah iblis? Dan kau tahu, angan itu teramat panjang. Bahkan sering kosong tak berpenghuni.
Maafkan aku

Agar Aku Mengerti

Akan diriku
Akan kedua orangtuaku
Akan istriku
Akan dua putraku
Akan karib kerabatku 
Akan teman belajarku
Akan amanah yang begitu berat di pundakku
Adakah ruang untuk mengadu
Adakah ruang untuk mengadu
Hanya Engkau Dzat Yang Maha Tahu
Agar aku mengerti siapa diriku
 

Selasa, 17 Maret 2009

Aku (Mestinya) Malu

Hari ini aku sangat malu
Yaa Rabbanaa
Ampunilah hamba
Ampuni khilaf dan salah hamba
Hanya ini yang bisa ku tulis saat ini
Engkau Maha Tahu
Engkau Maha Berilmu

Senin, 16 Maret 2009

Menjalin Kasih Sayang

Bahasa Silaturahim

Mengenang beberapa tahun yang lalu. Sebuah hikmah dalam silaturahim. Ketika suasana ikhlas selalu di depan. Mengawal laju langkah setiap gerakan. Alangkah indahnya. Alangkah mulianya. Ketika kemudahan dari Allah 'azza wa jalla dicurahkan, subhanallah semua terasa mudah. Semua begitu menyenangkan. Betapa hati ingin selalu memuji-Nya.
Saat kesibukan menggandeng waktu ke waktu. Mobilitas kegiatan seperti api tak kunjung padam. Roda 'sepeda angin' hadiah perkawinan sesaat menghampiri masjid. Ikut menundukkan jiwanya menjawab panggilan-Nya. Roda itu mengantar kepada kebaikan.
Ketika matahari mulai condong ke ufuk barat, hati dikejutkan dengan kemurahan-Nya. Allah tabaaraka wa ta'ala mengutus seorang yang berhati mulia. Menyodorkan kebaikan. Berbagi anugrah dan karunia Allah 'azza wa jalla.
Alhamdulillah. Kendaraan roda dua itu bagian dari kemudahan yang Allah janjikan. Bagi siapa yang bertaqwa. Mereka yang mau menjaga batas-batas agama, Allah janjikan jalan keluar dari berbagai persoalan hidupnya. Dan tunggulah saatnya kemudahan dari-Nya. Nantikan kemurahan yang datang tiba-tiba. Datangnya tiada di sangka-sangka.
Silaturahim itu penting. Karena akan mendatangkan kebaikan demi kebaikan. Silaturahim adalah segala bentuk ucapan maupun perbuatan yang mendatangkan rasa cinta dan sayang karena Allah semata. Maka berbahagialah orang-orang yang rajin bersilaturahim. Semoga dapat memberikan manfaat bagi dunia akhirat.