Judul : Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi
Penulis : Abu Abdirrahman Al Thalibi
Penerbit : Hujjah Press (
Tebal : xx + 180 hlm
Ukuran : 15 X 24 cm
Cetakan : Kedua, Maret 2006
ISBN : 979-28810-1-4
Harga : Rp -
Mendengar kata ‘Salafi’ sebagian orang mendefinisikan sebagai kumpulan orang yang mengenakan jubah, celana di atas mata kaki, berjenggot, dan yang perempuan bercadar. Pandangan seperti itu sah-sah saja. Karena definisi tersebut lahir dari fenomena yang dapat dilihat secara kasat mata. Ini memberikan arti identik. Meski identik, tetapi bukan merupakan identitas khusus.
Membaca ruang publik dengan ragam interaksi yang ada dirasa sangat menarik. Karena di
Mengaku dirinya benar atau mengaku hanya dirinya saja yang benar? Keduanya terlampau berat untuk dikatakan jika hanya menjadi simbol. Kalau pengakuan itu hanya sebatas retorika belaka. Atau sekadar pemanis bibir. Maka, tidaklah kemudian pengakuan itu secara de yure menjadi ‘dalil’ kebenaran yang diakuinya. Demikian pula, tidaklah semua orang yang tidak mengaku dirinya pemangku kebenaran, tetapi secara de facto mereka justru menyatu dengan kebenaran itu sendiri dalam bentuk amal nyata.
Siapakah yang dianggap salah? Siapa pula yang mendakwakan kebenaran atas dirinya? Sementara antara yang dianggap salah dan yang mengaku benar keduanya sama-sama berpegang teguh kepada ‘Laa ilaaha illallah’?
“Ini adalah sebuah pembahasan tentang dinamika dakwah Islam di Indonesia. Saya sengaja megambil topik tentang sebuah komunitas kajian Islam yang dikenal luas dengan sebuatan Salafy atau Salafiyin.”, ungkap penulis dalam mukaddimah buku ini. (h. 1) Maka dapat dipahami dengan mudah kehadiran buku ini merupakan kritik membangun bagi kelompok Salafy sebagai obyek kajian utamanya. Sementara bagi para aktivis dakwah Islam dapat menjadi renungan dalam menjalankan tugasnya.
Abu Abdirrahman, sengaja menyajikan kegundahan hatinya pada buku ini salah satunya dalam bentuk nasehat. Hatinya ingin meluruskan beberapa sikap yang dicatat sebagai hal yang melampaui batas. Sikap dari sebuah komunitas muslim yang dikenal dengan sebutan Salafy itu. Mereka (Salafy) dikenal giat mengkritisi kesalahan pihak lain. Pada saat inilah waktu bagi mereka untuk menerima kritik. Agar tidak ada monopoli dalam menegakkan kebenaran. (h. 2)
Buku ini setidaknya memiliki 15 pokok pikiran. Dalam tiap pokok pikiran itu berkembang dalam kalimat-kalimat utama yang akan dipertajam ulasannya. Sebagai contoh, penulis mengawali dengan pokok pikiran tentang istilah Salafy itu sendiri. Maka penajaman ulasan ada pada makna harifiah, sejarah, dan pengaruhnya.
Meski unsur pembahasan sudah memadai, tetapi alangkah ‘indahnya’ bila penulis semakin menunjukkan kekuatan ‘ilmiah’ nya dengan menyempurnakan rujukan-rujukan konkrit dalam bentuk foot note, misalnya. Dengan itu, pembaca yang memiliki perhatian lebih, tidak sekadar membaca tetapi juga meneliti, bisa mengakses referensi dengan mudah. Seperti ketika merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir (h. 23) dan beberapa hadits (h. 8, 27, dll), alangkah semakin lengkapnya penulis menyertakan ‘di mana’ ia temukan perkatan itu. Juz ke berapa? Halaman ke berapa?.
Istilah salafy, salafiyah, salafiyun, salafiyin, dan salaf masing-masing memiliki makna tersendiri dan digunakan dalam situasi yang berbeda. Namun semuanya memiliki satu akar yaitu ‘salaf’. Arti salaf sendiri adalah terdahulu, telah berlalu, telah selesai, kaum masa lalu, dsb. Secara istilah yang dimaksud salaf di sini adalah salafus shalih, yaitu generasi Sahabat Rasulullah saw, generasi Tabi’in, dan generasi Tabi’ut Tabi’in (para pengikut Tabi’in). Hal ini dipahami berdasar sabda Rasulullah saw tentang sebaik-baik kurun adalah kurunku (kurun Nabi saw dan para sahabatnya), lalu orang-orang yang datang sesudahnya, lalu orang-orang yang datang sesudahnya. (h. 8) Hanya saja, penulis tidak menginformasikan lebih riil sumber hadits tersebut.
Pada pokok pikiran lainnya, penulis mengurai adanya kesan kuat bahwa komunitas salafiyah di
Dalam pandangan penulis, Salafy Yamani telah melakukan beberapa penyimpangan. Diantaranya, ketika menyikapi ahlu bid’ah secara generalisir. Tanpa rincian kasus dan latar belakang. Sehingga ahli bid’ah diberikan hak untuk direndahkan, dihinakan, tidak berteman, dan lainnya. (h. 61)
Perilaku takfir juga mereka lakukan. Sementara secara umum mereka juga membenci perilaku itu. (h. 71) Cap kafir pernah dilemparkan kepada Yusuf Al-Qardhawi. Ja’far Umar, pernah menyebutnya sebagai Aduwwullah. (h. 72) Sejauh mana alasan pengkafiran itu dalam buku ini tidak banyak diulas. Sehingga kritik penulis atas sikap Ja’far Umar terhadap Yusuf Al-Qardhawi belum sepenuhnya masak. Masih perlu bumbu latar belakang ungkapan. Bahkan penulis sendiri kemudian menyerahkan kepada pembaca untuk menilainya. Tapi pun demikian, hal ini menjadi langkah strategis penulis untuk tidak ikut terjebak pada perilaku takfir.
Buku ‘ringan’ tapi ‘berat’ ini dicetak pertama pada Pebruari 2006. Ringan dalam arti tidak terlalu tebal. Berat dalam pandangan konsekuensi logis setelah membaca. Karena kemungkinan yang terjadi adalah pembaca akan melakukan justifikasi. Maka penulis memberikan pandangan prefentif dalam ungkapannya, ‘Tujuan dari nasehat ini ialah demi kebaikan dakwah Islam di Indonesia. Saya tidak merasa senang dengan menyerang orang lain, juga tidak merasa senang jika hak-hak saya dilanggar secara tidak adil.’ (h. 2)
Karenanya jika ada ‘noda hitam’ menempel di baju. Segera kita cuci supaya bersih. Bukan dengan cara menempelkan ‘noda putih’ untuk menutupinya. Maka langkah yang tepat adalah berbenah diri. Merubah sikap dari yang minus menjadi plus. Tidak perlu membukuputihkan diri. Kalau ada yang menerbitkan ‘Rapot Merah’ tidak perlu menyusun ‘Rapot Biru’ untuk ‘mensucikan’ diri. Biarlah kritik itu menjadi perenungan semua pihak. Utamanya kepada pihak kritikus dan Salafy sebagai sasaran kritik. Sebab ‘ulama, para imam juga telah menasehati dengan perkataan, ‘Semua ucapan bisa diterima, dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah saw.’
Penulis buku ini menambah daftar kritikannya dengan menampilkan tokoh yang berpengaruh di tubuh Salafy Yamani. Syaikh Muqbil bin Hadi namanya. Lahir di Yaman dengan kondisi sosio kultural yang keras menjadi latar belakang sikap kerasnya terhadap pihak lain yang dianggap menyimpang. (h. 111) Dua hal lain yang menjadi faktor sikap kerasnya itu adalah konflik antar aliran yang berlangsung keras dan proses pribadi yang dialami dirinya ketika dipaksa melepas ajaran salafiyah. (h. 112)
Buku ini sesungguhnya mampu menjadi koreksi atas sikap-sikap ‘kurang bersahabat’ dari saudara-saudara Salafy terhadap muslim lainnya. Keterus-terangan penulis dalam bentuk karya tulisan ini memberi peluang untuk saling berbenah. Konflik, masalah, dan pro kontra pasti akan ada. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bersikap atas problematika, konflik atau pro kontra tersebut.
Maka antara Penulis dengan Ja’far Umar Thalib dari kalangan Salafy bisa saling berbenah. Antara agen-agen salafy dalam ruang publikasi baik orator maupun alat media bisa dengan santun menyampaikan argumennya.
Dalam kalimat penutupnya, penulis memberikan catatan yang cukup bijaksana. Dari lembar ini pembaca kembali diingatkan dengan tujuan penulisan buku ini. Tidak hanya kritik, hal positif dari Salafy pun diulas dengan baik. Sehingga prinsip berdakwah bukan menelanjangi atau menghakimi di buku ini tampil dengan proporsional.
Baiknya kalangan yang intens, perhatian, dan fokus kepada dakwah bisa mengambil mutiara hikmah di dalam ‘danau’ kritik buku ini. Dari judulnya saja, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, pembaca bisa menilai kearifan penulis dalam menyusun kalimat. Tidak bernada provokatif atau melecehkan.
Buku yang relatif terjangkau harganya (sekitar 25 ribua-an) ini perlu dibaca. Persoalan membeli atau meminjam bukan soal pokok. Tetapi jika ingin memiliki, saran pembelian buku ini bisa jadi alternatif solusi. Kalau buku dirasa mahal, belilah dengan berkelompok. Buku dengan harga 30 ribu, jika harus membeli sendiri akan terasa berat. Coba ketika membeli buku dengan harga 30 ribu ditanggung 6 orang dalam suatu anggota pengajian. Maka satu orang cukup mengeluarkan 5 ribu. Dan membacanya pun bisa bergantian. Bisa untuk koleksi perpustakaan masjid. Dan yang jelas ringan. Jadi tunggu apa lagi untuk menambah ilmu dengan membaca buku?
© Mei, 2006, Abu Ukkasyah Adi bin Hadi al-Banjarnegary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar